Satu - Meet At Jerk People (Part 1)

    try to make my own novel :)
    ini hasilnya...! 
    kritikan sangat ditunggu :D
     


    Satu – Meet at Jerk People
                Ai  mengetuk-ngetukkan pensilnya sambil sesekali menyeruput cokelat panas di atas meja, tepatnya di sebelah scetchbook. Ia mulai memainkan ujung pensil ke atas kertas scetchbook. Ia tersenyum puas melihat hasil karyanya. Desain yang sudah dikerjakannya kurang dari 2 minggu yang lalu akhirnya selesai. Miniskirt pattern coklat kemerahan dan orange turtle neck long sleeves berbahan kaus dipadu syal merah marun. Ditambah lagi, sepasang kaus kaki panjang dan flatshoes. Sederhana untuk sekedar keluar rumah mencari angin di pertengahan musim gugur.
    Setelah itu, ia memulai lagi. Ai membalik kertas scetchbook, dan membaliknya dengan halaman putih baru. Mencoba menggambar desain fashion yang sporty di musim dingin untuk pria di kertas itu. Raut wajahnya berubah kecut.
    “Ah! Aneh sekali!” Ai mengumpat-umpat seorang diri dengan suara nyaring. Spontan, para pelanggan lain di Seven Blue – kedai minuman kecil di Departement Store Toyu di dekat stasiun Shibuya – memandang ke arah suara lantang Ai.
    “Hei, nona berkucir dua! Jangan berisik!” Salah satu pelayan berwajah galak dan membawa nampan memandang sinis ke arah gadis bersuara lantang-tapi-mungil-berkucir dua. Mendengar peringatan wanita pelayan yang umurnya kira-kira tiga kali lebih tua dari umur Ai.
    “Iya. Maafkan saya nek.” Kata Ai sambil merapatkan tangannya seperti saat meminta permohonan di kuil. Tak lupa Ai memasang senyum handalnya.
    “Nek? Huh! Kau pikir aku setua itu?” sembur wanita-yang- menurut-Ai-super-seram-dengan-muka-galaknya. Wanita pelayan itu melengos pergi dan tidak memperdulikan Ai lagi. Rupanya pelayan itu kesal telah dipanggil “nenek” oleh remaja mungil berkucir dua – padahal umurnya baru empat puluh tahun – dan membuat kegaduhan dengan mengomel seenaknya.
    Dasar nenek nyentrik-super-galak. Pikirnya geli dalam batin. Tapi, daripada memikirkan itu, lebih baik Ai memikirkan sesuatu untuk winter sporty fashion design-nya. Ai berusaha keras memutar otaknya, namun tak ada hasil. Padahal, saat itu moodnya sedang baik. Entah kenapa otak Ai kosong melompong, tidak seperti biasanya – Ide mengalir deras setelah berbelanja dan minum segelas coklat panas ditemani donat keju.
    Tiba-tiba setitik ide mulai menggenangi benaknya. Saat yang ditunggu-tunggu. Dengan penuh nafsu, Ai mulai menggoreskan ujung pensilnya ke halaman baru dan masih kosong melompong di scetchbooknya.
    “Bagus!” Kali ini Ai tidak bersuara nyaring, takut jika kena semprot si-nenek-pelayan-super-galak. Celana panjang berbahan kaus dan atasan seragam imitasi tim basket SMA Shinokawa – yang terkenal unggul dalam basket – tanpa lengan berbahan kaus dipadu jaket. It’s simply-sporty-funky-and-easy-to-move-on. Kali ini Ai bisa tersenyum puas.
    Tapi, Ai menemukan sedikit kekurangan. Seragam tim reguler basket SMA Shinokawa. Terlalu imitasi dan kesannya kurang kreatif. Selain itu, aneh jika memadukan seragam basket tanpa lengan dengan jaket.
    “Huh! Bagus apanya?” Ai setengah berteriak. Hampir seisi ruangan kedai Seven Blue mendengarnya. Dan, menoleh ke arahnya sekali lagi. Beruntung si nenek-pelayan-super-galak tidak memperdulikan Ai.
    Ai meremas selembar kertas dalam scetchbook, berencana melempar kertas itu ke dalam tempat sampah yang letaknya di sudut kedai – tak jauh dari tempat Ai. Ai melempar blatan kertas itu menyamping tanpa melihat arah sasaran.
    Bulatan kertas itu meleset masuk ke tempat sampah. Lemparan tak sempurna itu mengenai dahi seorang pria muda berusia belasan tahun yang tinggi, berambut hitam dengan highlight kecoklatan, dan jika diperhatikan dengan jelas, pia jangkung itu memiliki lesung di kedua sisi pipinya. Pria itu sedang asyik memainkan netbooknya.
    Hey, what the hell is this?” si pria ber-hightlight kecoklatan menggerutu sembari mengambil gumpalan kertas di kakinya. Ia melihat sekeliling, mencari siapa orang yang melempar kertas terkutuk itu.
    Gotcha. I don’t let you annoying me! Huh!” Sepertinya pria jangkung itu kesal. Entahlah, mungkin kesal karena :
    Pertama, waktunya yang berharga disita oleh hal tidak penting seperti memarahi orang iseng yang melempar kertas.
    Kedua, Ia butuh waktu sendiri. Dan saat pria itu sedang dalam kesendirian, lagi-lagi orang iseng mengganggunya dengan lemparan bola kertas tidak berguna.
    Ketiga, ketenangan pria itu diganggu oleh gumpalan kertas tidak penting. (yeah, hampir sama dengan hal kedua, tapi berbeda. Titik.)
    Keempat, seseorang melempar sampah padanya. Hal paling tidak sopan yang paling dibenci si pria berhighlight kecoklatan. Selain itu, membuang sampah bukan di tempat sampah sama saja membuat kotor Bumi, dan ia sangat membenci itu. Jangan salah. Meskipun tampangnya seperti yakuza-si-penagih-hutang-tukang-pukul-bayaran, ia tetap peduli kebersihan. “Apa jadinya jika bumi ini dipenuhi sampah? Aku kan jadi tidak bisa menyebarkan parfum Bvlgary-ku pada gadis-gadis manis di bumi ini!” Katanya jika setiap orang bertanya tentang kepeduliannya tentang sampah. Entahlah. Mungkin itu hanya alasan?
    Kelima, waktu “kencan” bersama netbook kesayangannya terganngu oleh hal bodoh. Padahal, lebih bodoh lagi jika ia meladeni si kucir dua.
    Pria yang mirip yakuza itu menghampiri Ai yang masih sibuk menguras otaknya untuk menemukan sporty fashion at winter. Namun, sekeras apapun usahanya, tetap saja, isi otak kanannya nihil kreatifitas.
    Lelaki jangkung itu tepat berada di depan bangku Ai dan membawa gumpalan kertas. Namun, ia tetap cuek seolah tidak terjadi apa-apa. Rupanya Ai telah tenggelam dalam dunia Ai — be-a-famous-fashion-designer-obsession, dan melupakan kertas yang barusan dilempar.
    “Hei, Kau!” Lelaki-seperti-yakuza mulai kesal. Daftar penyebab kemarahan bertambah satu : gadis berkucir dua mengacuhkannya, seperti keberadaannya tidak dianggap.
    “Apa, huh? Jangan mengganggu ketenanganku!” Jawab Ai ketus. Bagaimanapun, ia sudah kesal. Pertama, idenya yang tak kunjung hadir. Kedua, seseorang – apalagi pria – memanggilnya dengan kasar. Ketiga, orang kasar itu mengganggu ketenangannya.
    “Seharusnya itu yang kukatakan padamu, dasar bego!” Lelaki jangkung itu menatap Ai tajam tapi dingin. Wajah kesal terukir jelas.
    “Heh? Memangnya aku mengganggumu? Jelas-jelas aku sedang serius memikirkan desain fashionku. Satu hal lagi. Jangan panggil aku ‘kau’ dan mengataiku ‘bego’! Dasar kau tak tahu sopan santun! Beginikah sikapmu terhadap seorang gadis manis?” Ai semakin kesal.
    “Ya, tidak, terserah aku, tidak, dan tidak.” Jawab si pria jangkung singkat. Seketika, wajah Ai sedikit melukiskan ekspresi bingung. Saat akan membuka mulut, si pria ber highlight kecoklatalan itu dengan cepat menanggapi, seolah tahu yang ada dalam pikiran Ai.
    “Ya. Kau menggangguku. Tidak, kau tidak sedang berfikir keras tentang fashion. Lihat saja gaya berpakaianmu, norak! Terserah aku, mau memanggilmu apa. Bego, monyet, dungu, jelek, bodoh, atau apalah. Itu hakku. Tidak, aku adalah pria yang sopan. Justru kau yang tidak sopan, berteriak-teriak sendiri. Gila. Tidak, aku selalu bersikap manis pada gadis manis. Dan, kau bilang dirimu manis? Huh! Cepat beli kaca sana!” Katanya ketus.
    Menyebalkan! Ai hampir tidak percaya ada orang di bumi ini yang se ketus itu.
    “Baiklah, baik, tuan BANYAK BICARA! Aku salah. Puas?” Sahutnya tak kalah ketus. Ai melengos pergi sambil mengapit scetchbooknya dengan lengan. Gadis mungil berkucir dua itu melupakan cokelat panas yang masih tersisa separuh. Ai biasanya tidak mau menyisakan makanan. Ia beranggapan bahwa sedikit juga berarti. Menyisakan makanan berarti sama saja menghamburkan uang.
    “Hei, jerk! Dasar tidak tanggung jawab! Masalah kita belum selesai!” seru pria menyebalkan dengan suara lebih tinggi 1 oktaf.
    “Kau yang jerk! Masa Bodoh! Urus saja sendiri! Huh!” Ai membelakangi pria itu sambil berjalan cepat menuju kasir, membayar cokelat panas dan donat, sembari berlalu menuju pintu keluar.

    ***
                   
                    Ai berlalu sambil mengapit scetchbook di lengan kirinya. Pergi jauh dari kedai Seven Blue dan mengabaikan the-tall-jerk-brown-highlihtin’-boy.
              Ai terus berjalan tak tentu arah mengitari Harajuku. Sampai Akhirnya Ai sadar bahwa ia sedang berdiri di jalan Takeshita Dori. Tepatnya di depan kedai ramen Ichi-wan.
    Sejenak Ai berdiri di depan kedai ramen itu, memandang lekat-lekat papan di beranda  kedai bertuliskan, “Ayo! Datang ke kedai ramen ‘Ichi-wan’, Ichi the number 1. Dapatkan diskon khusus tahun baru! (Diskon berlaku sejak malam natal hingga tanggal 3 Januari) Tunggu apalagi? Datang dan Nikmati Ramen kami! Arigato Gozaimasu.”
    Ai memandang papan di seelahnya, “Nikmati Menu Baru Kami : Super Hot Chili Ramen!” dan di bawah tulisan hiragana, gambar Super Hot Chili Ramen. Juga gambar gadis manga sedang mengacungkan ibu jari dan menjulurkan lidah.
    Angin berhembus lebih kencang. Ai merapatkan jaketnya dan memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Ingin rasanya mencicipi semangkuk ramen di sore yang dingin.
    “Yah, tidak ada salahnya mencoba. Lagipula, aku ingin menghangatkan badan.”
    Ai melangkahkan kedua kakinya menuju kedai ramen Ichi-wan. Ai berdiri di depan kedai itu, tepatnya tiga langkah sebelum beranda kedai. Aroma kaldu ramen tercium khas. Membuat semua orang tergoda memasuki kedai ramen Ichi-wan dan memakan ramen.
    Ai meggeser Shoji, pintu geser dari kertas khas Jepang. Uap panas menyembur mukanya. Panas. Tapi uap panas itu bercampur dengan harumnya kuah kaldu ramen. Semakin menggoda pelanggan untuk memakan ramen kedai Ichi-wan.
    Kedai yang desain interiornya cukup klasik dan khas Jepang. Tidak ada kursi. Para pelanggan dapat menikmati ramen di lantai beralas tatami, dan duduk di atas bantal. Para pelayan dan kasir memakai kimono yang seragam tertulis huruf hiragana , “Kedai Ichi-wan”
    Sekarang masih pukul empat sore, tapi kedai Ichi-wan ramai dipadati pelanggan. Terlihat para pelayan sibuk kesana-kemari melayani pelanggan.
    Ai sempat mendapat ucapan salam salah satu pelayan kedai, “Selamat sore. Selamat datang di kedai Ichi-wan.” Pelayan perempuan itu memberi senyum terpaksa, sambil berlalu menuju meja 10, mengantar pesanan 2 lelaki dan pasangan mereka.
    Ai tak menganggap berat masalah itu. Sudahlah. Mungkin pelayan itu kewalahan menghadapi para pelanggan yang membludak. Pikir Ai.
              Ai berjalan menuju sudut kedai – meja kosong yang tersisa hanya di tempat itu – terpaksa Ai melangkahkan kakinya ke meja di sudut kedai. Yah, lumayan. Daripada tak dapat meja, bagaimana cara Ai memakan ramennya?
              Ai duduk di atas tatami lembut berwarna hijau lumut, meletakkan scetchbook di atas meja, mengambil pensil dari dalam tas. Ai akan menggambar sesuatu ke scetchbook, namun seorang pelayan wanita berparas cantik menghampiri Ai. Ai segera menyebutkan pesanannya, Spicy Tonkatsu Ramen dan secangkir teh hijau hangat. Pelayan itu segera mencatat pesanan Ai, menyajikan senyum ramah yang terpaksa, lalu pergi ke dapur.
              Setelah pelayan itu pergi, Ai kembali menggambar sesuatu. Tapi, bukan desain baju. Ai melukis wajah seseorang. Seorang lelaki berwajah manis putih bersih tanpa , bermata sipit, berambut hitam dan jabrik sedang tersenyum. Di bawah lukisan wajah itu, Ai menulis huruf-huruf katakana : Tsujikawa Ryuu. Lelaki yang dulu membuatnya bahagia, membuatnya bagai punya sayap, terbang tinggi ke langit.
    Ai menghela napas, menyandarkan punggungnya ke dinding bercat berwarna pastel. Tatapannya kosong, melayang jauh mengingat masa lalu.
    Tiba-tiba suara bernada tinggi membangunkan Ai dari lamunannya.
    “Hei! Aku memanggilmu berkali-kali! Kau ini tuli? Ini pesananmu, ramen original dan teh hijau hangat. Dan ini tagihanmu!” Kata seorang wanita berambut lurus sebahu yang kira-kira usianya sepantaran dengan Ai.
    “Maaf.” Ai melihat nama yang ada diseragam pelayan. Midoriya Haneda. Nama yang bagus. Tapi bertolak belakang dengan kelakuannya.
    Ai menghela napas lagi, mengabaikan si nama-bagus-tapi-berbeda-dengan-kelakuannya-Midoriya. Yah, mungkin kesibukan membuatnya capek dan badmood.
    Ai mencicipi kuah ramen yang menggoda selera makannya sejak tadi. Ternyata ramen kedai Ichi-wan enak juga. Tanpa ragu Ai melahap semangkuk ramen dengan neafsu tinggi.
    Ternyata teh hijau kedai ini tidak buruk. Rasa yang alami. Ai merasa lebih hangat daripada berjalan tak tentu arah mengitari harajuku di musim dingin.
    Ai berjalan menuju kasir untuk membayar ramen dan teh hijau. Ai mengaduk-aduk tasnya, mencari dompet merah bertuliskan “Matsuhiko Ai”. Dompet merah itu pemberian bibinya saat Ai berusia 10 tahun. Dompet itu buatan bibinya sendiri, degan kasih sayang di setiap benangnya. Dompet itu diberikan pada Ai saat liburan musim panas enam tahun yang lalu. Ia menginap di rumah bibi-paman Hachida di Hokkaido.
    Tanpa sadar Ai menabrak seorang pria bertubuh kekar. Ai segera meminta maaf, namun makian yang didapatnya
    “Maaf. Aku sangat menyesal.” Ai membungkukkan tubuhnnya hingga sembilan puluh derajat. Hingga sebungkuk itu pun, pria kekar itu tak peduli.
    “Hei, Jika kata maaf berguna, untuk apa ada hukum dan polisi?” Pria kekar itu berkata pedas sembari mendorong tubuh mungil Ai. Ai mendegus, rasanya ingin menghajar pria sombong itu hingga ia tak dapat merasakan kaki dan tangan.
    Ai mengepalkan tangannya tepat di depan wajahnya, siap untuk melayangkan ke muka si pria-kekar-yang-menyebalkan. Namun Ai menarik kembali kepalan tangannya. Pria itu telah menghilang dari muka Ai sebelum Ai sempat meninjunya. Lagipula, Ai tak mau menimbulkan keributan di kedai Ichi-wan.
              Sejenak, Ai terdiam. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke kasir setelah ingat bahwa ia sudah menghabiskan ramen dan teh hijaunya.
              “Meja lima belas, Spicy Ramen Tonkatsu dan Teh Hijau. Ambil saja kembaliannya.” Ai menggebrak meja dengan selembar lima ratus yen. Petugas kasir yang menampakkan muka linglung mengucapkan terimakasih pada Ai, tapi sepertinya Ai tidak memperdulikan perempuan itu.
              Sementara itu, Ai bergegas menuju stasiun Shibuya. Bukan untuk berbelanja atau menenangkan diri di kafe, tapi untuk pulang. Semakin cepat semakin bagus, pikirnya. Hari itu libur akhir pekan di musim dingin, dan membuat mood Ai berjalan-jalan. Tapi beberapa orang menghancurkannya. Menghancurkan liburannya.   Lebih baik Ai diam di rumah daripada harus berurusan dengan orang-orang menyebalkan. Meskipun di rumah Ai tak tahu harus melakukan apa, tapi setidaknya Ai bisa tenang tanpa  gangguan orang-orang jerk.

    ***

    to be continued... 


    bad news : aku belum bisa nerusin novelnya :'(
    mau konsen dulu buat cerita remaja yang mau dikirim ke kementrian agama...


    P.S. : Thanks for read :)
    see ya then...

Post Title

Satu - Meet At Jerk People (Part 1)


Post URL

https://guidice-galleries.blogspot.com/2011/04/satu-meet-at-jerk-people-part-1.html


Visit guidice galleries for Daily Updated Wedding Dresses Collection

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive